PDM Kabupaten Kebumen - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Kebumen
.: Home > Artikel

Homepage

REVITALISASI BUDAYA PEMIKIRAN ISLAM

.: Home > Artikel > PDM
08 Juli 2012 07:44 WIB
Dibaca: 2224
Penulis : Rief Ndut

Indahnya diskusi, indahnya beradu argumentasi, dan indahnya berdebat, asal masih berada dalam koridor saling menghormati, toleransi, dan keinginan untuk terus maju dalam dunia intelektual. Budaya diskusi adalah budaya ulama-ulama klasik Islam. Mereka berdiskusi bukan untuk memaksa semuanya jadi sama. Mereka berdebat bukan untuk menghakimi. Tapi mereka berdiskusi dan berdebat untuk menambah perbendaharaan kekayaan intelektual dalam dunia Islam. Di sana Al Ghazalai, Ibnu Rushd, Imam Asy'ari, Al Juba'i, Imam Baqilaniy, Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Sina, Al Farabi, dan Al Kindi yang sudah banyak memberi banyak iluminasi dalam dunia Islam. Ingat renaisance di Eropa tidak akan terjadi tanpa hadirnya mereka yang diiringi perdebatan-perdebatan sehat dan konstruktif. Ilmu eyang Aristoteles tidak akan sampai di tangan kita tanpa ada Al Farabi, Ibnu Maskawaih, dan Ibnu Rushd yang berusaha menampilkan kembali logika berpikir Yunani kuno. Bahkan ketika gereja di Roma mengharamkan pengetahuan dari Yunani ilmuwan-ilmuwan Islam justru menggali dan menyajikannya menjadi santapan lezat dunia intelektual. Ketika Copernicus dan Galileo digantung karena pemikirannya yang melawan gereja, ilmuwan Islam dengan bebasnya menyusun konsep astronomi, geologi, ilmu kimia, matematika, dan lain-lain tanpa terikat dogmatisasi Al Qur'an dan Sunnah.

 

Dalam mantiq hadits (modern logic) dengan manhaj istiqro'i-nya (inductive method) kesimpulan atau natijah dari sebuah diskusi atau pembahasan tidaklah pasti dan tidak begitu penting. Karena pencarian kesimpulan yang tunggal (wahdatul natijah) itu hanya akan menafikan keberagaman metode berpikir yang tentu menghasilkan banyak natijah. Pun begitu jadi memaksa muqodimah sebuah kasus harus seragam. Dalam mantiq hadits muqodimah adalah hal-hal parsial yang sangat berbeda-beda yang tidak menuntut hal yang mencakupinya secara umum. Jadi perbedaan pendapat tetap dijaga dan dihargai, sama nilainya, bukan untuk disatukan dalam satu persepsi tapi dirangkum menjadi kekayaan intelektual. Kalau pun ingin diambil kesatuan kesimpulan haruslah kesimpulan yang sangat umum dan global. Agar setiap pendapat diakui eksistensinya, dan dihargai nilainya, juga dihormati pencetusnya. Metode mantiq hadits ini sangat bermanfaat dalam menambah wawasan, menciptakan pemahaman dan diskursus yang baru. Sehingga diskusi benar-benar membawa kepada iluminasi (pencerahan) bukan dogmatisasi. Mantiq ini sudah dipraktikan oleh ulama-ulama fiqh kita sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka menangkap perbedaan bukan untuk disatukan tapi dirangkum sebagai khazanah intelektual. Imam Ghazali, Ibnu Haitsam, Ibnu Sina, Al farabi, dan Imam fikih yang empat memanfaat mantiq istiqro'i untuk menampung semua pengetahuan, makanya pengetahuan mereka benar-benar luas dan terkenal sangat toleran.

 

Namun sayang belakangan ilmu mantiq justru diharamkan oleh beberapa kalangan umat Islam. Boro-boro untuk sampai ke mantiq hadits, mantiq qadim (Classic Logic) saja sudah dianggap menyesatkan. Sehingga budaya berpikir umat Islam sekarang cenderung stagnan dan bahkan mundur. Islam sekarang kurang mampu menghasilkan khazanah yang baru dan orisinal dalam dunia ilmu pengetahuan. Kalau pun ada yang berani mendobrak dogmatisasi Al Qur'an dan Sunnah mereka akan dianggap liberal, sesat, plural, dan bahkan kafir. Di sini lah kemudian masa-masa gelap Islam semakin pekat. Ketika dulu ada Al Khawarizmi, Jabir bin Hayyan, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd yang mampu melahirkan banyak ruang-ruang baru dalam dunia pengetahuan Islam (yang akhirnya membawa renaisance di dunia barat) sekarang malah pendapat-pendapat mereka dibuang jauh-jauh atas nama puritanisme (pemurnian tauhid). Sejujurnya saya sendiri kurang suka dengan mereka yang mengatasnamakan pemurnian tauhid tapi malah justru melemahkan Islam dalam dunia intelektual.

 

Akhirnya setelah Islam mundur dari kancah persaingan pemikiran di dunia, umat Islam hanya menyalahkan penjajahan yang dilakukan barat. Umat Islam memusuhi barat lantaran mereka lebih maju, tapi tidak berpikir bahwa diri mereka sendiri sudah tertinggal jauh dalam dunia ilmu pengetahuan denga ilmuwan-ilmuwan barat. Mereka pun berusaha melawan barat dengan kekerasan, terorisme, sinisme, dan lain-lain. Saya melihat itu seperti seorang anak SD kelas 1 yang marah-marah kepada anak SMP karena anak SMP sudah bisa menghitung persamaan matematika dan memahami rumus-rumus fisika, sementara si anak SD kelas satu ini tidak mau belajar untuk bisa sampai level SMP. Sangat menyedihkan bukan?

 

Puritanisme yang muncul abad 18 yang dibidani oleh Muhammad bin Abdul Wahab memang masih berusia 250 tahunan. Namun efek destruktifnya terhadap dunia Islam sangatlah jelas nampak sekali dan tercatat oleh sejarah. Wahabisme atau Salafisme dalam dunia kontemporer sekarang banyak memberi batasan kepada kaum muda Islam untuk lebih eksploratif dan inovatif dalam dunia pemikiran, humaniora, peradaban dan budaya, dan iptek. Namun memang "dagangan" Salafisme ini adalah barang yang sangat marketable di masyarakat seperti tauhid, syirik, bid'ah, dan lain-lain. Saya akui hal ini memang sangat laku dan banyak diminati oleh kalangan yang putus asa dalam hidup di masyarakat akibat cekikan ekonomi, kebobrokan akhlak, dan penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam oleh sebagian golongan. Namun efek negatif diberikan justru lebih berbahaya bagi umat Islam dari pada keadaan masyarakat tanpa paham ini. Islam yang datang dengan santun lewat ajaran Walisongo kini jadi Islam yang keras, kaku, jumud, dan fanatisme buta. Di sisi lain pengembangan akhlak dilupakan, kesalehan sosial diacuhkan, dan pengembangak nalar berpikir disunat dan dikebiri.

 

Islam yang moderat yang dicoba dihadirkan oleh NU dan Muhammadiyah di Indonesia jadi semakin tidak laku. Kenapa? Barangkali karena bungkusnya sudah tidak menarik. Metode ajaran yang sudah tidak praktis dan solutif jadi kendala Islam moderat yang berusaha menyelamatkan Islam dari kemunduran. Barangkali golongan moderat di Indonesia juga perlu membenahi diri untuk menyajikan manhaj dakwah yang lebih marketable meski tanpa menghilangkan klasikalitasnya. Tanpil modern namun sufistik. Tampil modis dengan budaya salaf yang orisinal dimiliki oleh Islam. Ini yang sangat susah dan perlu perumusan yang panjang. Pemikir-pemikir muda yang ada sekarang seharusnya diberi banyak ruang untuk mengaplikasikan apa yang sudah mereka dapat. Dan pemikir-pemikir senior seharus membimbing dan menjaga agar pemikir muda tetap pada rel Islam yaitu Al Qur'an dan Sunnah. [ Rief Ndut ]


Tags: PemikiranIslam
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website